Arsip

Archive for Juni, 2010

SAAT KINI….the power of Now.

15 Juni 2010 7 komentar

Beberapa teman bertanya dan berasumsi bahwa saya tentu suka membaca buku-buku atau tulisan dari Eckhart Tolle. Sejujurnya saya sama sekali tak pernah membaca tulisan-tulisan Echkart Tolle, dan mendengar namanya juga baru belakangan ini. Dan seorang teman mengatakan bahwa ada sebuah buku dari Eckhart Tolle yang menjadi ‘bestseller’, yang berjudul The Power of Now. Saya bukanlah orang yang punya ketertarikan untuk membaca buku-buku. Saya hanya membaca antara dua, tiga buku-buku J.Krishnamurti dan ketika saya membaca yang lainnya ternyata isinya sama saja. Saya mencoba membaca buku-buku yang lainnya, yang bukan tulisan J. Krishnamurti; jujur saya tak menemukan apapun; hanyalah kata-kata, konsep-konsep dengan uraian panjang lebar yang tak mengandung makna. Malah tak sedikit dari buku-buku atau yang diklasifikasikan sebagai kitab suci hanyalah menuntun kepada otoritas, dogmatis yang bertentangan dengan tujuan pembuatan buku itu sendiri yaitu sebagai serana untuk belajar.

Saat saya diam mengamati, saya-pun melihat, betapa mubazirnya pencetakan buku-buku ini. Kita mencetak demikian banyak buku-buku, pada hal hanya untuk mengungkap ‘sesuatu’ yang bersahaja, yang amat sangat sederhana; dan tiada sebuah kata, atau sebuah huruf yang memadai untuk menuliskannya. Kebanyakan buku-buku hanyalah konsep-konsep, uraian panjang lebar, yang akhirnya semata menjadi pengetahuan. Bila kita melihat judul buku Eckhart Tolle, yaitu ‘The Power of Now’, ini dimaksud adalah ‘perhatian murni’ dimana tak ada gerak pikiran sama sekali. Perhatian murni sangat bersahaja, ini tak dapat diwakilkan oleh sebuah kata atau huruf apa-pun. Namun hal yang sahaja ini telah dituliskan panjang lebar, dalam sebuah buku yang barangkali mempunyai ratusan halaman.

Belum lama ini seorang keponakan pulang dari Yogya dan membawa buku The Power of Now ini. Namun saya tak begitu tertarik untuk membacanya….., entahlah….; bagaimanapun karena buku ini dihadiahkan kepada saya; saya membaca beberapa baris pada bagian tengah halaman, dan beberapa baris di bagian belakangnya. Dan saya tak berminat untuk melanjutkan. Boleh dikatakan saya belum membaca buku ini, namun dengan melihat judulnya ‘The Power of Now’ tentulah yang dimaksud adalah ‘perhatian murni’. Bila kita berada dalam perhatian murni atau perhatian penuh, maka kita berada pada ‘saat kini’. Bila kita sungguh ada dalam perhatian, semata perhatian tanpa ada gerak pikiran dengan segala kepentingannya, maka tak terelakan kita-pun berada dalam ‘saat kini’, inilah ‘The Power of Now’. Hal ini amat, sangat-sangat bersahaja. Namun hal yang bersahaja ini amat sangat sulit bagi kebanyakan orang, kenapa..? Karena kebanyakan orang terlanjur rumit, ruwet, komplek, terlanjur pintar, penuh ide, penuh kepercayaan, penuh pengetahuan dan sebagainya. Amati hal ini ada dalam diri Anda. Barangkali karena kesulitan ini, maka ditulislah banyak buku-buku dengan ratusan halaman; yang kesemuanya mencoba untuk mengungkap suatu hal yang sahaja, dengan berbagai cara dan tehnik agar umat manusia dapat memahami.

Agama sejati tentu mengajarkan hal sahaja ini, namun dari praktek yang terjadi kita telah menyimpang jauh dari intisari agama sejati. Agama semestinya menuntun umatnya untuk belajar. Dalam belajar yang benar mesti ada perhatian murni. Perhatian murni tak dapat diperoleh lewat kepercayaan; justru kepercayaan menghalangi perhatian murni. Inilah hal pertama dan mendasar yang mesti Anda pahami. Anda tak perlu menolak atau memberontak terhadap ajaran agama yang telah mendogtrinisasi selama ini, namun Anda mesti melihat, memahami dengan jernih, sehingga tak’an ada konflik dalam diri Anda.

Seorang peserta diskusi bertanya, darimana kita harus memulainya Pak….? Sepertinya kita hanya berputar-putar….?

Darimana kita memulai…..? Ya, sudah tentu kita memulai dari sini, dari tempat dimana kita berada, bukan? Kita tak mungkin memulai dari seberang sana. Saya harus memulai perjalanan saya dari diri saya sendiri. Saya mesti memulai penyelidikan saya dengan mempertanyakan. Selama ini, agama, buku-buku menceritrakan saya tentang tuhan, cinta-kasih, sorga, neraka dan lain sebagainya; dan menuntut agar saya mempercayai, meyakini; hanya dengan mempercayailah katanya, bahwa saya akan menjadi semakin dekat dengan tuhan dan sorganya. Dan dari penerimaan semua otoritas ini saya melihat, kepercayaan saya semakin kuat. Sejalan dengan semakin kuatnya kepercayaan saya, maka harapan-harapan dalam diri saya pun semakin kuat, demikian juga rasa takut yang tersamar dalam diri saya semakin kuat, tanpa saya sadari. Inilah yang terjadi dalam diri saya. Setelah sekian lama saya hidup dengan kepercayaan, tiada juga saya merasakan apa itu tuhan, cinta-kasih, sorga dan yang lain-lainnya. Saya tetap hidup dalam kebingungan, keraguan, kecemasan, kesedihan.

Apakah maknanya ini? Apakah arti sebuah kehidupan; apakah arti sebuah kepercayaan? Haruskah kita hidup dengan semua ini? Kenapa mesti harus….? Bila kita sepakat bahwa hidup ini adalah belajar, maka kita mesti mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini kepada diri kita; karena mempertanyakan adalah salah satu unsur belajar.

Jadi dengan cara apapun saya mempercayai tuhan, cinta-kasih, sinar-suci, hal ini tak dapat mengubah realita diriku yaitu batinku yang masih gelap-gulita. Dengan cara apapun aku memuja sinar-suci tuhan tak’an dapat mengantar sinar itu untuk menerangi batinku yang cemas. Hal ini mesti sungguh ku-pahami dengan kejujuran; bila tidak, maka aku pun tak ubahnya bagaikan orang-orang dalam negeri dongeng dari dongeng si-Raja yang Dungu. Bila kita sungguh paham akan hal yang mendasar ini, maka otomatis kita terbebas dari kepercayaan. Ini adalah langkah pertama dan terakhir. Ini adalah ‘saat kini’, disini ada persepsi langsung yang menerangi batin Anda. Ketika Anda terbebas dari kepercayaan, maka Anda tak’an menggantungkan harapan kepada apapun, termasuk kepada tuhan; Anda akan menghadapi segala permasalahan hidup secara langsung, pada saat kini. Ini perhatian murni. Dalam perhatian murni tak ada gerak pikiran; pikiran tak beroperasi, maka semua yang berada dalam pikiran juga berhenti. Apa yang ada dalam pikiran….? Ya, semuanya….., Anda dapat mengamati semua yang ada dalam pikiran: kesedihan, ketakutan, kebencian, keserakahan, kebanggaan, kepercayaan dan semua rasa diri yang merupakan bentuk-bentuk pikiran (si-Ego).

Bila kita selalu hidup dalam pikiran, maka sudahlah pasti kita tak pernah berada pada ‘saat kini’, pada ‘perhatian murni’.  Perhatian murni ini adalah semata mengamati dari saat ke saat. Pada saat kata-kata ini dituang kedalam tulisan disini ada pengamatan, sehingga kita melihat bagaimana pikiran bekerja mengolah kata-kata. Sementara kata-kata ini tertuang, kita mendengar suara-suara disekitar: kokok ayam, kicau burung, druuw kendaraan yang lewat, suara music dari tape tetangga, teriakan anak-anak yang sedang bermain. Untuk mengikuti semua ini dari saat ke saat dibutuhkan perhatian murni, perhatian menyeluruh.

Apabila perhatian murni menyentuh kedalaman tertentu disitu terjadi transformasi dari tingkat-tingkat kesadaran yang hanya dpt dipahami oleh tingkat-tingkat kecerdasan yang lebih tinggi. Hal ini tak dapat dipahami oleh pikiran. Disinilah letak kesulitan itu….., yaitu karena kita mengerti sebatas pikiran, sebatas kata-kata. Hal yang sahaja ini tak mungkin untuk di-diskusikan. Seberapa-pun banyaknya kata-kata digunakan, kita tak’an dapat mengungkap. Maka itu tiada jalan menuju kepada hal yang sahaja ini. Semua cara, metode adalah hasil dari pikiran yang menginginkan, dan sudah pasti mengantar kita pada pikiran. Inilah yang mesti dipahami. Semua usaha pikiran hanya mengasilkan pikiran……, disini tak ada perhatian murni, tak ada ‘saat kini’.

SAAT KINI adalah perhatian murni, perhatian tanpa gerak pikiran. Gerak pikiran adalah masa lalu dan masa yang akan datang, ini selalu terikat waktu, maka itu pikiran disebut sebagai waktu. Bila perhatian murni mengalir dari saat ke saat, maka pikiran tak hadir. Disini pikiran berfungsi dengan sangat effisien, tindakan menjadi spontan. Inilah yang dimaksud The Power of Now oleh Eckhart Tolle, kekuatan SAAT KINI yaitu ‘perhatian murni’.

Kategori:Keheningan

SESULUH = CERMIN

1 Juni 2010 2 komentar

Adalah sebuah lagu rakyat yang sangat populer pada masa kecilku. Lagu ini adalah lagu ‘sesuluh’ atau cermin bagi umat manusia untuk bertindak/bersikap dalam kehidupan. Di Bali bagi generasi terdahulu, lagu ini tentu tak asing; entahlah…., apa saat ini lagu ini masih ada yang menyanyikan…? Dahulu lagu ini hampir setiap saat dinyanyikan orang; manakala mereka menyabit rumput, mengembala sapi atau kerbau diladang, mencari kayu bakar, mencari makanan babi dan dalam kegiatan sehari-hari yang lainnya.

Ede ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh lulu
Hilang lulu bukke katah
Yadyan ririih
Liu enu pelajahan

Artinya:
Jangan menganggap diri bisa/tahu.
Biar orang lain menilai
Kewajiban bagai menyapu
Selalu ada sampah
Hilang sampah, debunya banyak
Seberapa pintar-pun
Tak ada habisnya pengetahuan itu.

Lagu ini dinyanyikan dengan ‘pupuh ginada’, irama yang ringan dan bersahaja. Irama ini mengajak si-penyanyi melepaskan pikirannya dari segala masalah dan bercermin, introspeksi diri dengan menyimak pada lirik-lirik lagunya. Secara keseluruhan lagu ini mengajak kita untuk menyimak, melihat, kekotoran batin; memahami diri sendiri.

Pada baris pertama, pesan ini mengingatkan kita; waspadalah dengan ketakaburan. Ketika orang merasa dirinya tahu, maka dia akan mandeg disana; dia berhenti menggali, menyimak dan belajar.

Baris ke-dua masih terkait dengan baris pertama; apapun penilaian orang tentang diri kita, tak’an membuat hati kita resah. Bila Anda menilai, mengatakan saya sombong; dimana, apanya yang salah dengan penilaian itu? Saya sama sekali tidak melihat penilaian Anda ini salah ataupun benar. Bila saya sungguh sombong, maka penilaian Anda sesuai dengan fakta; namun sebaliknya, bila saya tidak sungguh sombong, maka Anda mengatakan suatu yang salah. Dengan demikian saya tak perlu merasa tersinggung atau marah dengan penilaian Anda yang salah, bukan? Karena saya melihat, memahami bahwa setiap manusia bisa berbuat keliru.

Baris ke-tiga, ke-empat dan ke-lima merupakan satu rangkaian yang mengajak kita untuk menyadari bahwa kita hadir, hidup di bumi yang indah ini bagaikan orang menyapu. Setiap hari, setiap saat kotoran batin ini selalu tumbuh. Sepertinya sampah-sampah telah tersapu bersih, namun masih banyak debu yang melekat, lengket dalam batin kita. Inilah hal yang mesti dipahami. Dalam diskusi tentang ‘kasih’ adalah teranghttps://wayanwindra.wordpress.com/2010/05/27/pelita-hati/; peserta menanyakan pertanyaan yang sama dengan teman di FB.
“Apakah yang mesti saya lakukan atau perbuat dengan kekotoran batin?”

Apa yang dapat kita lakukan? Dapatkah kita semata mengamati, yaitu mengamati tanpa gerak pikiran? Ini adalah pengamatan dengan kwalitas kemurnian, maka kotoran batin itu menguap, sirna, yang tinggal hanyalah pengamatan, hanyalah kesadaran diri. Untuk dapat mengamati mesti ada keawasan, kesungguhan perhatian. Kebanyakan orang tak dapat melakukan, karena keterkondisian dirinya telah terpola; sehingga tindakannya selalu adalah reaksi dan ini menjadi kebiasaan, menjadi tradisi. Ambil contoh kecil; bila ada orang memaki dengan kata-kata yang sangat kasar, maka spontan saya tersinggung atau marah. Inilah reaksi yang telah menjadi tradisi dalam diri saya yang terpola. Salahkah hal ini? Dalam memahami tak ada persoalan salah atau benar; namun kita semata menyimak, mengamati. Dan kita pun melihat sebagaimana adanya.

Coba kita amati lebih detail, kenapa, apa yang terjadi dalam diri, ketika ada yang memaki saya. Tiada masalah, bila saya hanya tersinggung; tetapi saya terus bereaksi, mungkin saya balik memaki atau barangkali menampar mulut yang memaki itu. Maka terjadilah konflik; konflik dalam diri sendiri dan konflik dengan orang di-luar diri. Seandainya saya memahami SANATANA-DHARMA (hukum alam yang pasti) yaitu tak ada suatu kejadian tanpa sebab; maka saya akan menyadari bahwa orang yang memaki saya, tentu ada sebabnya, mempunyai alasan. Bila saya sungguh paham SANATANA-DHARMA, saya akan selalu dalam kewaspadaan yang murni, sehingga ketika makian itu ditujukan kepada saya; saya akan mendengar itu sebagai teriakan yang kasar bernada tinggi. Itulah adanya sebuah makian. Namun ini tak terjadi. Saya tersinggung dan marah. Kesadaran saya timbul terlambat, artinya saya sudah sempat terbakar; namun bila saya mampu mengamati dengan perhatian murni, kemarahan saya-pun menguap, menghilang. Tapi kebanyakan orang tak memiliki perhatian murni. Mereka bereaksi dari keterpolaan batinnya; dari norma etika moral, dari norma agama. Apa itu? Seperti….., “balaslah tahi dengan bunga”, “orang bijak harus dapat mengendalikan amarah”, “nila setitik rusak susu sebelanga”, dan lain sebagainya. Saya-pun menekan perasaan marah saya dengan senyum; pada-hal didalam hati saya terbakar. Ini adalah munafik, adalah konflik kwadrat; marah itu sendiri adalah konflik dalam diri, ditambah dengan konflik baru yaitu norma etika (menekan perasaan marah); penekanan ini adalah pemaksaan, maka konflik dalam diri saya menjadi berlipat-ganda.

Inilah umumnya yang terjadi, sehingga kekotoran batin tak pernah terselesaikan, hanya dialihkan atau ditutupi sementara dengan penekanan atau pengendalian. Yang dibutuhkan hanyalah sebatang sapu yaitu perhatian murni tanpa bias pikiran. Hal ini telah ada didalam diri setiap insan, Anda tak perlu mencarinya kemana-mana; mencari pada kitab-kitab suci, guru-guru suci, tempat suci, tanah suci, air suci, api suci, atau kesuci-sucian yang lainnya. Kenapa perhatian murni ada dalam diri Anda?……., tak perlu dipermasalahkan; apakah sapu ini sapu lidi, sapu ijuk, kamoceng; apakah ini pemberian dewa, tuhan, allah, setan ataupun iblis, ini tak penting dipersoalkan; namun bagaimana Anda dapat menemukan itu didalam diri dan memanfaatkannya bagi diri Anda. Inilah hal yang utama.

Baris ke-enam dan ke-tujuh adalah konklusi yang tidak bersifat menyimpulkan, tapi semata mengungkap realita, bahwa pikiran manusia tak’an dapat mengerti semesta yang maha besar tak terbatas. Dalam sebuah pustaka tertulis, “seandainya Anda hidup seribu tahun dan memiliki seribu mulut yang kerjanya melulu berbicara tentang pengetahuan semesta ini; maka tak’an habis jua pengetahuan ini; sedangkan tempo Anda singkat; apakah yang dapat Anda pahami….?”
……adalah INTISARInya.

Kategori:Keheningan