Beranda > Keheningan > PERANGKAP TERJERAT

PERANGKAP TERJERAT

Apakah kira-kira ungkapan ini dapat mengantar kita kepada pembelajaran yang lebih mendalam…? “Perangkap yang terjerat atau jerat yang terperangkap.” Atau anda dapat mengubah kata-katanya menjadi “jebakan yang terperangkap atau jerat yang terjebak.” Bagi yang telah membaca tulisan-tulisan sebelumnya dalam blog ini, tentu telah dapat menangkap makna dari ungkapan ini. Yang dimaksud adalah pikiran yang terjebak oleh dirinya sendiri.

Pernyataan ini sangat sahaja, namun bagi kebanyakan orang untuk sungguh melihat hal ini senyatanya tidaklah mudah. Kita telah mencoba mengungkap hal ini dalam artikel DIMANA MASALAHNYA …, namun sepertinya kita belum juga dapat memahami apa yang dimaksud. Karena dari dialog, diskusi yang kita lakukan, tetap saja kita terjebak dalam jerat pikiran/kata-kata. Sehingga dialog atau diskusi yang terjadi kadang memanas dan sering menjadi debat kusir. Bila kita sedikit mau menahan diri, menarik nafas dalam dan mengamati, barangkali kita akan dapat melihat apa yang terjadi didalam batin kita manakala kita merasa panas dalam perdebatan.

Dalam artikel-artikel sebelumnya sepertinya telah berulang kali kita ungkap, dan pada kesempatan ini kita terpaksa mengulang kata-kata, atau pernyataan-pernyataan yang sama. Apakah yang membuat kita berdebat…? Coba kita diam dan amati bersama-sama; bukankah karena kita mempertahankan sesuatu…? Dan sesuatu itu adalah hal yang kita anggap sangat berharga…., yaitu pendapat, prinsip, ideology, konsep dan lain sebagainya. Sadarkah kita dari mana asal-muasal semua hal yang kita hargai, kita banggakan dan kita puja-puja….melebihi segala harta milik kita? Ini semua berawal dari ingatan/kenangan masa lalu kita yang tanpa sadar kita rajut dari hari-kehari menjadi jaring /‘tamus’ perangkap untuk menjerat diri kita sendiri. Bagi yang memiliki kecerdasan dalam selayang pandang mereka tentu akan melihat, menyadari hal ini yang berada dalam diri. Namun kebanyakan dari kita sangat sulit melihatnya, karena mata hati kita telah tertutup rapat oleh jaring-perangkap yang tebal; sehingga yang tampak hanyalah JARING PEKAT yang menjadi pandangan, prinsip, pegangan, keyakinan, dan kebenaran kita. Demikianlah setiap orang memiliki KEBENARAN dari keyakinan yang berdeba-beda.

Dalam artikel PUNCAK YANG SAMA kita telah mencoba mengurai….; adakah itu KEBENARAN menurut saya, menurut anda, si-A, atau si-X…? Puncak Gunung selamanya adalah PUNCAK…, tiada puncak-gunung milik anda, milik saya atau milik si-A, si-B atau si-C. Pahamilah hal ini! Bila ada pemahaman kita pasti tak’an berdebat, karena ini artinya kita telah berada pada puncak yang sama, KEBENARAN yang sama. Maka dari itu KEBENARAN mesti dipahami BUKAN dipercaya, bukan dijadikan hak milik. Apabila kita berada dalam kebenaran maka kita tak’an mempertahankan, atau menentang. Kebenaran selamanya kebenaran kita tak perlu membelaNYA. Kebenaran ini mesti dihayati dalam hidup dalam setiap tarikan nafas kita, sehingga kita dapat merasakan hangat, segar dan indahnya kebenaran itu.

Dapatkah kita mengikuti uraian tadi? Kita hanya mencoba mengukap realita dari fakta-fakta. Untuk menguji uraian tadi, kita juga dapat menggunakan fakta-fakta dalam kehidupan disekitar. Lihatlah konflik yang ada dimana-mana. Konflik diantara saudara kandung, antara kerabat dekat, keluarga jauh; antara tetangga, sahabat, warga sekampung; antara suku, ras, suku bangsa; antara desa, organisasi, partai, bangsa; antara agama, sekte, aliran dan konflik yang terjadi dalam diri sendiri. Kenapa…, apa yang melatar-belakangi konflik-konflik ini? Tentulah karena mereka berPEGANG pada keyakinan atau kepercayaan dari kebenaran masing-masing bukan…? Nah, adakah kebenaran yang mereka pegang, yang mereka yakini ini adalah kebenaran…? Jika itu kebenaran kenapa hasilnya konflik..? Apabila kita memiliki sedikit kecerdasan tentu kita dapat memahami uraian ini. Kebenaran bukanlah produk pikiran. Kebenaran tidak bisa menjadi kepemilikan kita. Kebenaran bukanlah pendapat, ide, konsep, keyakinan ataupun kepercayaan. Dan semua uraian ini adalah kata-kata produk pikiran; kata “kebenaran” ini-pun bukanlah kebenaran. Namun demikian kata-kata ini hanyalah mengukap tabir dari jaring kata-kata agar kita dapat melampauinya. Jaring kata-kata yang berupa keyakinan, keimanan, kepercayaan, konsep, ideology, prinsip, pendapat dan lain-lainnya yang telah kita kumpulkan sejak masa kanak-kanak tanpa kita sadari. Ini semua adalah produk pikiran. Hal inilah memenuhi batin kita; dan masing-masing orang memiliki keterkondisian yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhi dimana mereka dilahirkan. Rangkaian jaring kata-kata dari masa-lalu inilah yang mengidentifikasi dirinya sebagai DIRIKU/ si-AKU.

Dapatkah kita  mengikuti uraian ini….? Dapatkah kita melihat proses keberadaan si-AKU dalam diri kita…? Amatilah..! Sebelum kita sampai pada kondisi diri kita saat ini…, tentu kita juga dapat melihat proses ini dari fakta kehidupan. Saat pertama kita dilahirkan, kita kosong, polos dan murni. Ini telah berulang kali kita ungkap, bahwa hakekat diri kita adalah KEMURNIAN. Kemurnian ini adalah cinta-kasih, karena kita semua dilahirkan dalam kasih yang sama. Ini bukanlah sebuah pendapat, dogtrin, atau idea, namun ini adalah realita (sanatana-dharma). Untuk dapat melihat realita ini senyatanya, kita mestilah melepas semuanya; melepas kepemilikan kita yang berupa ide-ide, gagasan, pendapat, cita-cita, pegangan, keyakinan, mitos dan lain sebagainya yang menjadi tabir jaring-jaring pekat pikiran yang menutupi hakekat diri kita yaitu KEMURNIAN.

Seorang teman bertanya,… “apakah yang anda maksud dengan KEMURNIAN….?”

“…. Janganlah anda bertanya terus!” Sebanyak apapun jawaban yg diberikan, apabila kita tak mampu menyimak kata-kata ini tiadalah manfaatnya. Inilah barangkali alasannya kenapa ditulis demikian banyaknya buku-buku yang diharapkan agar kita dapat melihat senyatanya hakekat itu. Namun tak sedikit dari buku-buku yang ditulis hanyalah merupakan salinan yang memberi makna keliru sehingga menimbulkan kesalah pahaman. Atau ditulis semata menonjolkan keindahan bahasa untuk menarik minat, dan hal ini sama sekali tak memberi manfaat hanyalah menjadi hiburan semata. Inilah kendala, kesulitan-kesulitan yang muncul yang menjadi penghalang bagi kita untuk sungguh-sungguh mampu menembus dan melampaui jaring keterkondisian diri kita.

“Siapakah anda sesungguhnya? Apakah Anda Tuhan sehingga tidak perlu memohon kepada Tuhan?”…. ini adalah pertanyaan dari seorang teman yang terperangkap dalam kata-kata. Sudah menjadi tradisi, pendapat umum bagi teman-teman yang terperangkap, bahwa kita mesti percaya dan memohon perlindungan kepada tuhan. Disinilah kesulitannya. Saya tak memiliki apa-pun, selain kata-kata yang tiada artinya ini. Jika semua kata-kata yang selama ini kita rangkai tak mampu mengantar kita pada pengertian, saya pikir saya tak’an melanjutkan hal yang sia-sia ini. Seandainya dengan berdoa’ memohon kepada tuhan kita dapat melihat, memahami permasalahan hidup kita, bukankah sejak dahulu kala kita sebagai orang-orang beriman telah melakukannya….? Tidakkah semestinya kita telah mampu membebaskan diri dari segala permasalahan hidup? Namun faktanya kita tetap terjerat dalam masalah, bukan….? Tidakkah pengalaman hidup kita selama ini dapat dijadikan guru untuk belajar melihat diri kita yang terperangkap?

Seandainya dengan berdoa’ saya dapat membantu diri kita untuk melihat tentu saya akan berdoa’, karena hal ini tidaklah sulit dilakukan. Namun senyatanya hal ini tiada gunanya, bukan? Kata-kata ini ibarat pohon pepaya yang tumbuh dikebun atau dihati kita. Dapatkah kita sungguh melihat faedah dari buahnya yang manis atau faedah dari daunnya yang pahit? Janganlah mempersoalkan rasanya yang manis atau pahit, namun kita mesti sungguh-sungguh merasakan atau menerima faedahnya bagi kesehatan dan kesegaran batin kita. Tatkala kita tersentuh oleh kesegaran, maka hakekat-diri terjaga. Persepsi ini meretas jaring-jaring perangkap yang selama ini telah menjerat. Selanjutnya anda tak’an pernah berdoa’ kerumah tuhan, karena tindakan hidup anda bersumber dari kebebasan batin.

Kategori:Keheningan
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar