Beranda > Keheningan > MALAM PELEBURAN DOSA

MALAM PELEBURAN DOSA

Setiap tahun umat Hindu selalu merayakan Hari Raya Siwaratri yang juga disebut sebagai hari Malam-Siwa, atau juga dipahami sebagai Malam Peleburan Dosa. Perayaan ini jatuh pada malam tergelap dari malam-malam sepanjang tahun yaitu sehari sebelum ‘bulan mati’ di bulan Januari atau (sasih kepitu).

Pada hari Siwaratri ini biasanya umat melakukan puasa (upawasa), tidak bicara (monobrata) dan begadang/jaga (jagra) selama 36 jam. Sehingga Siwarâtri juga dimaknai sebagai “Hari Suci Pajagran” (hari kesadaran suci). Dan didalam perayaan Malam Peleburan Dosa ini terkait erat dengan sebuah ceritra tentang seorang pemburu yang bernama Lubdhaka. Cerita ini barangkali sudah sangat populer dikalangan umat Hindu, karena dalam setiap perayaan Siwaratri, cerita ini akan selalu dibacakan atau diceritrakan; baik secara langsung maupun lewat media cetak, radio, TV atau dipentaskan dalam lakon drama, sendratari, wayang dan lain sebagainya .

Kenapa Siwaratri ini dirayakan demikian? Apa makna yang terkandung dalam ceritra Lubdhaka ataupun kaidah dari perayaan ini? Mungkinkah hanya dengan berpuasa, tanpa bicara dan begadang selama 36 jam semua dosa-dosa manusia dapat lembur/habis? Seperti halnya sang Lubdhaka si pemburu, ketika tanpa sadar dia telah melaksanakan Malam-Siwa sehingga dosa-dosanya lebur dan ketika meninggal dunia katanya rohnya langsung masuk sorga. Ini adalah suatu perayaan dengan latar ceritra yang sangat menarik untuk disimak.

Secara umum, umat hanyalah melaksanakan setiap upacara apapun, tanpa pernah menyimak makna filosofis yang terkandung didalamnya. Demikian juga halnya dengan perayaan Hari Siwaratri ini, umat hanyalah patuh mengikuti semua rangkaian upacara dan upakara yang hanyalah simbol-simbol semata. Sebelum kita menyelami makna apa yang terkandung dalam ceritra dan perayaan Siwaratri ini; marilah kita pahami apa yang dimaksud dengan ‘dosa’? Dalam Pustaka Hindu yang sering disebutkan adalah kata “papa” yang mungkin mempunyai nilai atau makna yang sama dengan dukha dalam agama Buddha. Seorang yang ‘papa’ adalah orang yang menderita karena kegelapan (avidya), ketidak-tahuan dalam dirinya. Jadi kebodohan diri sendirilah yang menyebabkan kita jatuh didalam ‘papa’, dalam dukha, dalam dosa. Hal ini penting sekali dipahami, karena dengan demikian kita tak’an begitu saja berasumsi yang muluk-muluk, dengan gambaran tentang indahnya sebuah sorga. Atau dengan membuat kesimpulan dan mempercayai.

Pertama, marilah kita menyimak ceritra sang Lubdhaka, si pemburu. Bila kita memaknai sang Lubdhaka sebagai seorang pemburu, tentulah telah banyak binatang buruan yang melayang jiwanya dari ulahnya. Kalau dimaknai demikian, betapa besar dosa-dosa sang Lubdhaka yang telah membantai begitu banyak binatang. Namun menurut ceritra dosa-dosanya lebur hanya dalam semalaman tanpa dia sadari. Dia yang dalam ketakutannya duduk disebuah dahan yang tinggi dari sebatang pohon ‘bila’ yang menjorok ketengah kolam. Agar tidak sampai ketiduran diapun memetik sehelai demi sehelai daun-daun ‘bila’ dan menjatuhkannya kedalam kolam. Perbuatan ini dia lakukan sepanjang malam; malam tergelap dari malam-malam sepanjang tahun. Dan pada malam tergelap ini adalah bertepatan dengan Malam-Siwa, malam dimana menurut ceritra bahwa katanya Dewa Siwa sedang melakukan yoga-semadhi. Barangkali Dewa Siwa merasa senang hatinya ditemani oleh si Lubdhaka dalam beryoga, dan berkenan memberi ampunan atas dosa-dosanya. Dengan mengikuti alur ceritra ini, kita mau tak mau akan bertanya; mungkinkah hal ini? Mungkinkah sang Lubdhaka terbebas dari dosa-dosanya dengan begitu mudahnya? Dan ceritra ini membawa efek maupun tafsiran yang berbeda-beda tentunya. Ceritra ini hanyalah ceritra. Namun demikian suatu penafsiran yang logis barangkali akan membawa manfaat bagi kita untuk menyentuh makna yang terkandung dalam ceritra ini.

Bagi umat yang telah melaksanakan Malam Peleburan Dosa ini dengan benar menurut kaidah agama, tentulah dapat melihat atau merasakan langsung apa yang telah terjadi didalam diri mereka? Adakah sungguh-sungguh terjadi bahwa dosa-dosa mereka telah lebur? Apakah yang terjadi bila kita terbebas dari dosa-dosa? Sungguhkah kita telah bebas dari dosa: dari kebodohan (avidya), dari penderitaan, dari kecemasan, dari kebingungan, dari kebencian, iri-dengki, serakah dan sebagainya itu? Bila kita bebas dari dosa, hal-hal ini mestilah sudah tidak ada dalam diri kita bukan? Mestilah ada kejujuran dalam mengajukan pertanyaan ini, sehingga kita dapat menyelidik, melihat senyatanya kedalam diri. Seperti halnya sang Lubdhaka yang melihat kedalam ke-gelapan, ‘Malam-Siwa’ dirinya. Bila kita sungguh jujur kitapun melihat diri kita seperti apa adanya.

Kita hanya dapat memaknai ceritra sang Lubdhaka dengan logika, dengan intelek yaitu senjata ‘pasupati’ yang ada pada diri kita; karena inilah satu-satunya serana yang kita miliki. Kita semua adalah Lubdhaka-Lubdhaka, si pemburu yang penuh dosa, oleh kobodohan, keserakahan, kebencian, ketakutan dan kelicikan diri kita. Sang Lubdhaka si pemburu adalah si-Pencari Kebenaran. Untuk dapat duduk diatas sebuah dahan yang tinggi, mestilah ada keseimbangan dan ketenangan batin. Ini adalah suatu sikap, ‘asana’ untuk meningkatkan keteguhan perhatian. Memetik daun sehelai demi sehelai adalah menjaga perhatian agar tak terpecah. Begadang, bukanlah sekedar melek, melotot secara phisik, hal ini sama sekali tak ada nilainya; namun batin kita mesti selalu terjaga, waspada, penuh kesadaran. Hanya dalam kondisi inilah sang Lubdhaka, atau diri kita dapat menyelami gelapnya Malam-Siwa; gelapnya ‘avidya‘, dosa-dosa diri kita. Jadi kita mesti mampu menyelami, menyimak seluruh kegelapan dari dosa-dosa kita yaitu kobodohan, keserakahan, kebencian, ketakutan, kebingungan, iri-dengki, kelicikan, keangkuhan serta kebanggaan yang selama ini berkuasa atas diri kita. Hanya dengan dipahami sedalam-dalamnya ‘papa’, ‘dukha’, dosa-dosa ini, barulah kemungkinan kita bisa bebas dari padanya.

Jadi kaidah yang paling mendasar dalam perayaan Malam Peleburan Dosa adalah “puasa (upawasa), tanpa kata (monobrata) dan jaga (jagra)”. Tiga hal utama ini saling terkait yang dapat dijadikan landasan dari sikap mental dalam tindakkan keseharian hidup kita. Untuk sampai pada kepekaan kita mesti melakukan diet yang tepat, dengan mengkonsumsi jenis makanan yang bersifat satvika (makanan yang meningkatkan kesehatan lahir dan batin); dan barangkali juga perlu berpuasa. Inti dari puasa ini adalah untuk meningkatkan kepekaan dalam diri kita. (Monobrata) tanpa bicara, adalah untuk mengantar kita pada keheningan. Monobrata ini bukan tak bicara hanya sebatas verbal, namun yang utama adalah kebebasan batin dari kata-kata, dari pikiran. Kalau kedua hal ini telah dilakukan maka tak terelakan kondisi batin akan berada dalam keadaan jaga (jagra), penuh kesadaran, penuh rasa eling. Batin yang jaga (jagra) adalah batin yang waspada, batin yang terus belajar, mengamati, menyimak bukan mempercayai. Batin yang terus belajar adalah batin yang tidak membuat kesimpulan apapun, sehingga dia tenang seimbang; tak’an hanyut oleh emosi, angkara-murka, kemarahan, kebencian, iri-dengki dan sebagainya. Ataupun tak’an mudah hanyut dalam kecemasan, kesedihan dan keserakahan. Inilah barangkali makna yang terkandung dalam perayaan Malam Peleburan Dosa. Perayaan ini hanyalah simbol, yang mesti dimaknai dan dihayati dalam tindakkan hidup kita sehari-hari, dari saat ke saat. Bila batin kita selalu jaga, waspada, peka dan hening maka dosa-dosa kita pun lebur. Dan sorga itu bukanlah idaman atau tujuan yang diimpi-impikan dan diperoleh setelah mati kelak; namun sorga itu adalah keindahan batin yang telah terbebas dari segala kegelapan (avidya), kebingungan, ketakutan, kesedihan, keserakahan, harapan dan kebanggaan.

https://wayanwindra.wordpress.com

Kategori:Keheningan
  1. wayanwindra
    6 Januari 2010 pukul 10:14 am

    Dari sekian banyak umat sedharma, tiadakah yg membaca tulisan yg indah ini? Kenapa Anda tak berkomentar?….sayang….sungguh sayang….
    Tulisan ini akan dijadikan bahan diskusi dalam Malam Siwa mendatang, di Padepokan Carangsari. Kalau Anda berkenan silakan menyebar-luaskan tulisan2 yg indah dalam Blog ini.

    Semoga damai di-hati damai di-bumi, om santhi, santhi, santhi om.

  2. 15 Oktober 2010 pukul 3:32 pm

    Terima kasih pencerahan nya…, sarat makna dan tuntunan…. terus lah berkarya dan jangan pernah sekali kali mengharap hasil apapun…!!! (bahkan sekedar koment)
    mohon ijin untuk share…

  3. windra
    16 Oktober 2010 pukul 2:36 pm

    Silakan Bapak di-share.

    Tulisan2 dalam blog ini adalah milik Anda dan kita semua. Kata-kata ini bersumber dari kitab semesta yang berserakan disekitar dan didalam diri kita masing2.

    Terima kasih anda sudah mampir, semoga menemukan makna yg terkandung.

  4. penganut hindu
    16 Desember 2010 pukul 12:01 pm

    hahaha..lucu juga bagaimana anda memuji diri sendiri..

    • windra
      18 Desember 2010 pukul 9:09 am

      Ya… kadang2 kita melihat dunia dari kelucuan2, namun tiada yg salah dari kelucuan2 yg ada…, sepanjang kita jujur dlm memuji diri-sendiri, ada ketulusan dari apa adanya.

  5. windra
    18 Desember 2010 pukul 9:14 am

    Adakah yg salah dari tingkah laku kita…? Bila kita muncul dgn menyamar, wajah samaran, nama samaran, dan samar2 yang lainnya….? Kukira tak ada yg salah… Mereka punya alasan masing2…., alasan yg paling masuk akal, adalah tak ingin atau tak mau dikenal, atau tak adanya kejujuran.

  6. 14 Januari 2012 pukul 7:29 am

    Om Swastyastu ,, ikut menyimak mas brow, kalau sy memaknai hari Siwa Ratri adalah hari kenaikan kelas atau hari wisuda lulus dan tidaknya sang murid. Enak dong kalu siwa ratri dimaknai peleburan dosa ,, Kita lakukan saja dosa2 terlebih dulu lalu malam siwa ratri kita tebus dan lunas ,,, Yang membedakan hanya pertanggung-jawabannya saja, kalau mengikuti jenjang akademik pertanggung-jawabannya ke dosen (manusia), sedangkan sulinggih (pendeta) pertanggung-jawabannya ke alam tak nyata/Tuhan. Hari kelulusan (wisuda) calon diksita di alam niskala adalah hari siwaratri, yaitu tilem ke tujuh dengan turunnya weda dewa Siwa (Bhatara Dalem). ,,, salam

    • 14 Januari 2012 pukul 10:09 am

      Terima kasih sharing anda sdr watukembar. Ya…, setiap orang tentu memberi makna yg ber-beda…, tergantung dgn pemikiran masing2. Saya hanya berbagi dari sudut pandang yg sempit, yg mungkin tak ada maknanya…., silakan masing2 dari kita menyimak. Yg utama adalah pemahaman shg ada realisasi dalam diri…., wasalam…., rahayu…

  7. Bagus
    8 Januari 2013 pukul 9:52 pm

    Salam,
    Terus terang…hampir semua tulisan di blog ini sudah saya baca… Yang intinya saya juga hampir sepenuhnya sependapat dengan Bpk Wayan…

    Hmmmm…sebentar lagi Siwa Ratri…
    Ijinkan saya ikut share…
    Menurut hemat saya sebagai orang awam yang berusaha mengamati dan menyimak tingkah laku dan paradigma di sekitar saya…
    Siwa Ratri memang identik dengan cerita Lubdaka dan bagi kebanyakan orang (termasuk saya – dulunya) makna Siwa Ratri adalah Malam Peleburan Dosa

    Lubdaka hanyalah sebuah cerita yang sarat filosopi luhur…dalam hal ini dapat saya simpulkan sebagai suatu cara / jalan / tehnik / metode menuju ke alam sunyataan…ke dunia Asal kita

    Sedangkan kalau kita bicara Peleburan Dosa…hemmm…tidaklah semudah itu…karena dosa adalah bagian dari hukum sebab akibat…hukum semesta Sanatana Dharma…yang juga melibatkan karma…

    Kemana dan apa yang terjadi jika dosa kita telah dilebur dan kita menjadi zero dosa?
    Kita akan kembali ke dunia Asal kita…bagaimana kita kembali ke dunia Asal? Kematian raga… Karena kita akan tidak punya karma lagi untuk dijalani di dunia ini… Ada sebab pasti ada akibat… Ada karma..akan ada kelahiran… Ini hukum semesta alam… Bukankah kita terlahir karena karma terdahulu kita? Bukankah kita lahir kembali karena dosa terdahulu kita?

    Mohon diluruskan jika ada pendapat yang kurang berkenan… Hanya bermaksud sharing saja…

    • 9 Januari 2013 pukul 8:44 am

      Terima kasih sharing Anda Pak Bagus.

      Apa yg Anda uraikan adalah pengetahuan scr umum yg kita peroleh lewat membaca atau mendengar scr langsung; atau modifikasi dari analisa2 pikiran.
      Hal yg terpenting adalah memahami apakah dosa itu dan apakah karma itu? Siapakah yg berbuat dosa, dan siapa pula yg melakukan karma…?

      Teman2 muslim sering membuat pernyataan, “barangsiapa yg mengenal dirinya akan mengenal wajah tuhan.” Pernyataan2 spt ini menjadi klise…, krn ini sebatas wecana, hanya dijadikan sbg hiasan bertutur kata.
      Apakah maksudnya mengenal diri? Siapa, dan yg mana si-diri ini?

      Bila sungguh ada pemahaman, maka semua kata2 ini tiada berguna dan scr otomatis berakhir. Selanjutnya kita tidak akan membuat pernyataan2 spekulatif.

      Salam…, rahayu.

    • 10 Januari 2013 pukul 10:44 am

      dosa terbentuk dari pikiran (niat) ucapan dan tindakan. Setiap mahluk berbadan materi maupun berbadan halus selalu ada action baik dalam mind (niat) maupun dalam tindakan. Jadi zero karma hal yg mustahil. Namun dengan memahami akibat dari karma dan ekses dari karma yang membuat manusia siap menerima. Kesiapan manusia menerima segala akibat atas mind (niat), ucapan dan tindakan inilah yang akan melahirkan purifikasi karma. Purifikasi karma sendiri merupakan kunci ke alam pembebasan.

      Apa itu Purifikasi karma? inilah yang perlu dibahas. Namun sangat sulit menjelaskan suatu yang sempurna tanpa ada kesepahaman dalam sudut pandang. Oleh karena itu Zhen hanya melenitkan jari tangan ttg penjelasan ini. Yang membuat muridnya mencapai pencerahan (arahat, Moksa)

      Ketika kita melihat dan mendengar apakah “mata” kita mampu melihat? atau kita melihat mengunakan mata? jika mata hanya alat untuk melihat lalu siapakah yg melihat? demikian juga halnya dgn berkarma jika tubuh hanya unsur lalu siapakah yang mesti menangung akibat dari unsur? mungkinkah unsur akan menerima akibat? jika roh sendiri hanya unsur bathin,

      Roh tersusun atas kesadaran, pikiran, ingatan dan pencerapan unsur2 (cetha, budhi ,manah,sankara) jika berhenti salah satu maka yang lainya akan berhenti spt ikatan kimia, jika satu lepas maka yang lainya akan hancur. Hanya tingal kesadaran yg merupakan ruang. Lalu siapakah yang akan menerima ekses dari karma? tentunya sangat hati2 memahami karena bisa mencapai pencerahan negatif. yang berakibat fatal

      • windra
        11 Januari 2013 pukul 5:54 pm

        Terima kasih komen dan sharing anda Pak Komang.

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar