Beranda > Keheningan > KEMBALI ke-NOL

KEMBALI ke-NOL

Akhirnya sang Imam/si-orang suci (pemangku) yang menderita diabetes wafat jua kemarin pagi (CURHAT Mas IMAM). Sejenak tentu sanak keluarga, dan juga umat setempat yang ditinggalkan merasa bersedih dan kehilangan. Sang Imam yang baru berusia 50-an tahun, yang sedemikian penuh rasa bhakti dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai imam, dengan penuh kepercayaan, akhirnya kembali ke nol. Menjelang ajal, beliau mengalami dilemma antara fakta yang menimpa dirinya dengan harapan dari kepercayaannya. Lebih-lebih beliau adalah seorang imam, orang suci yang selalu dekat dengan tuhan. Peristiwa ini menimbulkan banyak tanda tanya bagi umat umumnya. Kenapa hal ini bisa terjadi. Tidakkah tuhan semestinya memberkahi beliau?

Semua penderitaan dunia tertulis pada surat-surat yang ada didalam LACI diri kita. Seandainya kita ada sedikit saja minat dan mempertanyakan, kita barangkali akan membuka laci diri kita dan mencoba membaca sebuah surat dari sekian banyak surat-surat yang telah kita kumpulkan. Namun sayang, diantara kita tak banyak yang berminat. Karena kita telah menyimpulkan dalam kepercayaan dan keyakinan sehingga kita telah menutup dan mengunci laci diri. Kita sedemikian yakin, bahwa kita telah paham dengan semua isi surat yang memenuhi laci diri. Dan percaya tak’an ada masalah. Demikianlah yang terjadi pada sang imam yang amat sangat percaya, sehingga beliau tak memberi satu-pun kesempatan pada dirinya untuk bertanya.

Bila laci diri telah penuh, maka dia sudah tak berfungsi. Jika kita ingin laci ini berfungsi, kita mesti mengosongkannya. Untuk mengosongkan, kita mestilah membaca surat demi surat, bila kita sungguh memahami kita-pun sudah tak membutuhkanya, maka surat-surat ini otomatis terbuang. Inilah yang selalu kita bicarakan selama ini, yaitu memahami surat-surat dalam laci diri. Untuk memahami sudah barang tentu ada proses belajar. Belajar yang benar adalah mempertanyakan, menyelidik bukan mempercayai. Bila Anda percaya bahwa dengan melakukan kaedah-kaedah agama, Anda akan dijauhkan dari cobaan; maka Anda telah menutup diri untuk belajar. Dan ketika musibah itu datang, seperti yang dialami sang imam, dia terus berdoa, memohon kemurahan tuhan. Candu kepercayaan ini telah melemahkan semangatnya untuk belajar, menyelidik, mempertanyakan, mencari penyebab sakitnya.

Lihatlah kedalam diri; dan ajukan pertanyaan kepada diri Anda dengan suara perlahan dan sungguh-sungguh. “Apakah yang telah diberikan kepercayaan kepada diriku?” “Adakah kepercayaan ini telah membebaskan diriku dari permasalahan hidup?” Bila kita jujur, kita tentu melihat jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Sudahkah kita sungguh bebas dari permasalahan hidup? Sudahkah kita bebas dari kebingungan, kecemasan, kesedihan, kemarahan, kebencian, kebanggaan, keserakahan, kelicikan, kebohongan, harapan dan yang lain-lainnya. Bila belum, apakah nilai kepercayaan yang kita mulyakan selama ini?

Diantara Anda tentu telah banyak yang membaca kitab-kitab, mendengar khotbah, publik speaker, ikut retret meditasi dan sebagainya, semua usaha ini adalah dalam rangka menanggulangi permasalahan hidup Anda, bukan? Namun dari apa yang Anda kejar tanpa sadar, Anda telah menambahkan surat-surat kedalam laci diri. Dan laci diri semakin penuh, dan hati Anda semakin sesak, permasalahan hidup semakin ruwet. Sadarkah Anda akan hal ini? Apa yang mesti Anda lakukan? Bagaikan seorang yang naik sepeda ditengah kota yang luas dan asing, Anda bingung dan berputar-putar tak tahu arah pulang; maka ada baiknya Anda minggir dan berhenti sejenak. Diamlah…! Amati diri Anda. Anda akan melihat kecemasan dari kebingungan yang memenuhi laci diri. Kecemasan, ketakutan inilah sumber segala masalah dalam hidup Anda. Dan semua usaha, tindakkan Anda adalah reaksi dari rasa takut ini. Cobalah Anda amati secara perlahan. Ketika Anda bingung, Anda memohon kepada tuhan agar diberi petunjuk. Jadi doa ini adalah wujud dari kebingungan Anda. Jadi yang mesti dipahami adalah kebingungan, ketakutan yang ada dalam diri Anda, surat-surat yang memenuhi laci diri. Bukan berdoa.

Ambillah sebuah pernyataan dari kepercayaan berikut, “tujuan doa adalah untuk meningkatkan hal positif dan menekan yang negatif.” Apa makna pernyataan ini? Ini jelas menuntun kita pada konflik, pada pemaksaan. Kita menginginkan yang positif dan menolak yang negatif. Disini pikiran terus bergerak, Anda takut dan menghindari yang negatif dan mengejar yang positif. Inilah dogma agama yang telah menjerat kita dalam kepercayaan. Apabila kita mau bebas dari hal-hal negatif, kita mestilah memahaminya, bukan menolak atau menekannya. Dan, jika sedikit saja kita cermat, mengamati, bukankah semesta ini terjadi dari unsur positif dan negatif? Ketika kita menginginkan yang positif dan menolak yang negatif; tidakkah kita sedang mengingkari hukum semesta? Inilah yang mesti dipahami, bila kita sungguh paham, kita-pun selaras dengan kehidupan dan terbebas dari dualitas. Maka dalam seketika seluruh surat-surat terbakar, dan seketika laci diri menjadi kosong. Anda kembali ke-nol. Batin yang hening ini ringan, segar dan indah. Disini tak ada ANDA yang mesti berdoa. Bila Anda berkata, “doa adalah harga mati”, tiang pancang telah ditanam dan Anda menjerat diri disini. Maka Anda tak mungkin mengikuti dinamika hidup yang terus bergerak.

Note:
Bacalah tulisan dalam blog ini secara perlahan, camkan, apabila perlu diulangi.
Saya tidak sedang menghasut Anda, namun hanyalah didalam batin yang miskin dari segala pikiran ada kebebasan (mokshatam).

Kategori:Keheningan
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar